Ilustrasi Gambar : Demonstrasi Tritura Mahasiswa Januari 1966 (Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid.2 1965-1973) |
METANOIAC.idSoe Hok Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Dia adalah seorang aktivis Indonesia keturunan Tionghoa yang turut andil dalam penurunan kekuasaan Orde Lama. Gie merupakan anak ke empat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet. Ayah Gie, Soe Lie Pit adalah seorang novelis. Sewaktu kecil Gie sering mengunjungi perpustakaan umum dan taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta bersama kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman).
Lahir dari keluarga penulis membuat Gie begitu dekat dengan sastra. Seorang peneliti menyebutkan bahwa sejak masih sekolah dasar (SD), Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Lahir dari keluarga penulis membuat Gie begitu dekat dengan sastra. Seorang peneliti menyebutkan bahwa sejak masih sekolah dasar (SD), Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer.
Setelah berhasil menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemudian melanjutkan perguruan tinggi di Universitas Indonesia Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. Pada saat menjadi mahasiswa, Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengkritik tajam rezim Orde Baru.
Dilansir dari berita.baca.co.id, Salah satu aksi Gie dan kawan-kawannya pada saat itu adalah tepat pada tanggal 10 Januari 1966 para mahasiswa turun ke jalan sebagai tindak lanjut Tritura alias tiga tuntutan rakyat kala itu. Pertama, tentang pembubaran PKI. Kedua, tuntutan pembersihan kabinet dari unsur-unsur PKI. Ketiga adalah tuntutan penurunan harga bahan pokok.
Salah satu ekspresi dan ide gila Gie muncul untuk mengempesi ban mobil para pejabat dan menteri. Ada alasan dibalik aksi tersebut. Sebagaimana diungkap oleh Marsillam Simanjuntak ketua KAMI Jaya kala itu, aksi pengempesan dilakukan agar mobil anggota kabinet DWIKORA tak bisa bergerak.
Salah satu ekspresi dan ide gila Gie muncul untuk mengempesi ban mobil para pejabat dan menteri. Ada alasan dibalik aksi tersebut. Sebagaimana diungkap oleh Marsillam Simanjuntak ketua KAMI Jaya kala itu, aksi pengempesan dilakukan agar mobil anggota kabinet DWIKORA tak bisa bergerak.
Gie juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di beberapa media massa, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Sebagai aktivis kemahasiswaan, Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Pada tahun 1983 Gie menerbitkan buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran” yang merupakan buku harian Gie sendiri. “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997) dan “Di Bawah Lentera Merah” (1999) keduanya merupakan skripsi Gie yang kemudian dibukukan.
Sebagai aktivis kemahasiswaan, Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. Pada tahun 1983 Gie menerbitkan buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran” yang merupakan buku harian Gie sendiri. “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997) dan “Di Bawah Lentera Merah” (1999) keduanya merupakan skripsi Gie yang kemudian dibukukan.
Selain itu, Gie juga menjadi salah satu pendiri Mapala UI, himpunan mahasiswa pencinta alam Universitas Indonesia yang salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung.
Pada tanggal 8 Desember 1969, Gie bersama rekan Mapala UI memulai pendakian Gunung Semeru. Sebelum berangkat, Gie sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat”.
Pada tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 Gie meninggal di Gunung Semeru bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis, akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut.
Kepergian putera dari Soe Lie Piet memang menyisakan duka di hati teman dan sanak kerabatnya. Namun, apa yang sudah diperjuangkannya semasa hidup telah memberi teladan yang baik bagi generasi muda Indonesia. Terlebih, pemikirannya yang cerdas dan tajam mengenai pergolakan rezim penguasa di tanah air telah membuka mata kaum muda agar lebih meningkatkan kesadaran politik mereka. [AAA/286]