Oleh Nurindah Fajarwati Yusran
Aktivis Back to Muslim Identity (BMI) Community Kota MakassarAlumni Teknik Elektro PNUP 2013

Dunia semakin menua memunculkan berbagai tantangan, tidak terkecuali bagi para mahasiswa, baik mahasiwa Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dunia kampus adalah wadah berkembangnya peradaban dengan
berjuta potensi, mulai dari
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, hingga peradaban manusia. Dari sana
diharapkan bersatunya visi dan misi penyelenggara perguruan
tinggi dan para mahasiswa,
guna
memajukan peradaban dan
melahirkan manusia terbaik dunia dan akhirat.
Sebelumnya, Takashi Siraishi dalam bukunya Zaman Bergerak menyebutkan era 1912-1926 sebagai peristiwa digiringnya berbagai pergerakan dan perlawanan para kaum
terpelajar dalam upaya meraih
kemerdekaan. Berbagai
perlawanan di mulai sebagai sebuah ekspresi politik, melalui berbagai cara seperti surat kabar, rapat umum,
serikat buruh, pemberontakan, ada pula rapat dan pemogokan massal
sebagai bukti perlawanan.
Peistiwa ini di tandai pula sebagai Politik Indonesia Modern. Ide-ide
perlawanan membara sebagai bentuk perlawanan atas eksitensi kapitalisme.
Puluhan tahun setelahnya, gerakan mahasiswa di tahun 1970an, perjalanan mereka timpang tidak menemukan
kemenangan mengambill peran,
sebab mahasiswa terjebak dalam gerakan moral. Gerakan mahasiswa pada masa itu
bergulat dengan teori, membuat sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa
pernah melakukan gerakan mobilisasi massa serta bergabung dengan massa rakyat
yang dihisap oleh rezim orde baru.
Modernisasi dan abad milenial sebagai
salah satu pendorong yang merindukan peran kritis para mahasiswa lebih
khususnya mereka yang mengaku
dirinya aktivis pergerakan. Sebab
di zaman ini, kelihaian dalam menanggapi isu publik bergetar hanya dalam sekian
detik. Gerakan mereka
bukan semata memajukan nama
Universtitasnya, tetapi dinantikan rakyat pada perumbahan revolusioner, tidak
sebatas pada penelitian tapi juga kritis kondisi zaman.
Transformasi
orde baru menuju orde
reformasi hari ini membuat
aktivis pergerakan mesti berjalan-jalan ke belakang. Memunculkan
kembali hasrat sebagai kaum terpelajar, jika saja jejak sejarah tak boleh tertinggal.
Mendapatkan kebaikan, mengubah keburukan, itulah yang di rindu
kemunculannya di tengah carut-marutnya permasalahan. Baik dari segi pendidikan, sosial,
ekonomi dan tentu saja metamorfosa
menuju pesta politik 2019.
Sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-Undang No 2
tahun 1989, pasal 16, ayat (1), Perguruan tinggi merupakan kelanjutan
pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik
untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan
profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kesenian. Pondasi kuat berkembangnya perguruan tinggi sangat
dipengaruhi bukan pada kwantitas tapi lebih pada kwalitas mahasiswanya. Hingga
detik ini peran mahasiswa di mata
masyarakat tetaplah sama, mereka memiliki
tempat tersendiri di hati rakyat.
Masyarakat
menilai mahasiswa tidak sesederhana
status tapi juga menjadi teladan.
Fungsi mereka adalah satu kesatuan, beradaptasi
dan hidup berdampingan di tengah-tengah masyarakat, sedang mereka yang mehasiswa dan aktivis
pergerakan memiliki multifungsi tanpa melupakan multidimensi.
Kerasnya
Pergerakan
Aktivis pergerakan memiliki kepekaan tanpa melupakan
tanggung jawab utamanya sebagai didikan perguruan tinggi. Terkhusus aktivis
muslim mereka berkewajiban melandaskan setiap aktivitasnya pada syariat Islam,
bukan seperti pada isi puisi Sukmawati Soekarno, mengaku muslim, tetapi tak
paham syariat. Syariat mengajarkkan, siapapun dia, apapun perannya, tetaplah
sosok manusia yang tidak dapat memisahkan ruhiyah dalam pergerakannya.
Beberapa bulan lalu, Presien Joko Widodo saat menghadiri
Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI, Depok, Jumat
(2/2/2018) mendapatkan kejutan menarik dengan di tiupnya peluit oleh Zaadit
Takwa, Ketua BEM UI yang melakukan aksi memberi “kartu kuning” pada presiden.
Tindakan ini sebagai bentuk peringatan pada pemerintah
untuk menyelesaikan permasalahan di dalam negeri. Dalam aksinya Zaadit
mengkritisi beberapa hal. Pertama terkait kasus gizi buruk di asmat, seperti kita ketahui sampai hari
itu sudah ada 72 orang korban meninggal di kasus luar biasa tersebut.
Zaadit juga mengkritisi soal wacana pengangkatan penjabat
gubernur dari kalangan Polri aktif. Selain itu, BEM UI juga menolak draf Permendikti
tentang organisasi mahasiswa yang dinilai akan mengekang dan membatasi
pergerakan mahasiswa.
Bukan
sebuah rahasia, para aktivis timbul dan tenggelam juga di sebabkan galau yang
tersibukkan. Dari sekian banyak aktivis hanya secuil yang mampu se gagah Zaadit tampil ke depan menyuarakan
hak dan tugas pentingnya sebagai Social of Control.
Beragam respon bermunculan, tidak sedikit menuai
kritikan, tetapi juga begiu banyak dukungan. Kemunculaaannya bagai pahlawan
bagi seikan ribu aktivis, aksinya viral, aksinya tersampaikaan. Menanggapi lebih
lanjut aksi Zaadit, setelahnya juga
hadir tayangan Mata Najwa dengan mengundang beberapa ketua BEM dari kampus
ternama. Semuanya menyampaikan orasi yang ditonton jutaaan mata. Mulai dari
Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Gafar Revindo, Ketua BEM IPB Qudsyi
Ainul Fawaid, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB Ardhi Rasy Wardhana, dan Presiden
Mahasiswa UGM Obed Kresna Widya Pratistha. Menariknya, Ketua BEM IPB Qudsyi
Ainul Fawaid menyampaikan fakta yang di alami aktivis hari ini. Sistem
kurikulum Universitas memiliki Sistem Kredit Semester (SKS) yang sangat
mendorong mereka untuk disibukkan pada aktivitas akademik, hingga ruang
geraknya sebagaai aktivis semakin dipersempit.
Fakta memperlihatkan kerasnya perjuangan aktivis muslim
ibarat menyeberang lautan, dua pulau terlampaui tidak lagi diragukan. Mereka
adalah kumpulan para mahasiswa yang tidak hanya di ruang-ruang kelas,
laboratorium, kantin, bukan pula mereka yang kuliahnya pulang
kosan atau nongkrong di tempat hunting seru, tetapi mereka yang disibukkan dengan aktivitas perkuliahan
juga kelembangaan.
Kini
bukan fasenya merindui Soekarno yang mampu menyihir jutaan telinga dengan
retorikanya atau pun
menarik pasang mata lewat kharismanya. Peradaban semakin mengeras,
dia butuh sosok yang terbukti lebih gagah berani.
Tidak
berlebihan jika negeri ini
membutuhkan sosok
Khalid Bin Walid, sosok panglima
perang termasyur dalam peradaban Islam. Tidak sekedar lihai membuat taktik
melawan musuh dan menebas dengan
pedang,
tetapi membentengi dirinya dengan
pemahaman syari'at Islam
sebagai dasar melewati tantangaan
menuju kemenangan.
Sosok Zaadit beserta kawan-kawannya diharapkan melayakkan dirinya sebagai penerus Khalid Bin Walid. Tidak gentar pada kritikan, selalu terdepan menyampaikan kebenaran, sebab masyarakat awam hanya terdiam, mereka hanya mampu merindu, dan aktivis pergerakanlah wakil mereka.
0 Komentar