Dunia semakin menua memunculkan berbagai tantangan, tidak terkecuali bagi para mahasiswa, baik mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Dunia kampus adalah wadah berkembangnya peradaban dengan berjuta potensi, mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, hingga peradaban manusia. Dari sana diharapkan bersatunya visi dan misi penyelenggara perguruan tinggi dan para mahasiswa, guna memajukan peradaban dan melahirkan manusia terbaik dunia dan akhirat.
Sebelumnya, Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak menyebutkan era 1912-1926 sebagai peristiwa digiringnya berbagai pergerakan dan perlawanan para kaum terpelajar dalam upaya meraih kemerdekaan. Berbagai perlawanan dimulai sebagai sebuah ekspresi politik, melalui berbagai cara seperti surat kabar, rapat umum, serikat buruh, pemberontakan, ada pula rapat dan pemogokan massal sebagai bukti perlawanan. Peristiwa ini ditandai pula sebagai Politik Indonesia Modern. Ide-ide perlawanan membara sebagai bentuk perlawanan atas eksistensi kapitalisme.
Puluhan tahun setelahnya, gerakan mahasiswa di tahun 1970an, perjalanan mereka timpang tidak menemukan kemenangan mengambil peran, sebab mahasiswa terjebak dalam gerakan moral. Gerakan mahasiswa pada masa itu bergulat dengan teori, membuat sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa pernah melakukan gerakan mobilisasi massa serta bergabung dengan massa rakyat yang dihisap oleh rezim orde baru.
Modernisasi dan abad millenial sebagai salah satu pendorong yang merindukan peran kritis para mahasiswa lebih khususnya mereka yang mengaku dirinya aktivis pergerakan. Sebab di zaman ini, kelihaian dalam menanggapi isu publik bergetar hanya dalam sekian detik. Gerakan mereka bukan semata memajukan nama Universitasnya, tetapi dinantikan rakyat pada perubahan revolusioner, tidak sebatas pada penelitian tapi juga kritis kondisi zaman.
Transformasi Orde baru menuju orde reformasi hari ini membuat aktivis pergerakan mesti berjalan-jalan ke belakang. Memunculkan kembali hasrat sebagai kaum terpelajar, jika saja jejak sejarah tak boleh tertinggal. Mendapatkan kebaikan, mengubah keburukan, itulah yang di rindu kemunculannya di tengah carut-marutnya permasalahan. Baik dari segi pendidikan, sosial, ekonomi dan tentu saja metamorfosa menuju pesta politik 2019.
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989, pasal 16, ayat (1), Perguruan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Fondasi kuat berkembangnya perguruan tinggi sangat dipengaruhi bukan pada kuantitas tapi lebih pada kualitas mahasiswanya. Hingga detik ini peran mahasiswa di mata masyarakat tetaplah sama, mereka memiliki tempat tersendiri di hati rakyat.
Masyarakat menilai mahasiswa tidak sesederhana status tapi juga menjadi teladan. Fungsi mereka adalah satu kesatuan, beradaptasi dan hidup berdampingan di tengah-tengah masyarakat, sedang mereka yang mahasiswa dan aktivis pergerakan memiliki multifungsi tanpa melupakan multidimensi.
Kerasnya Pergerakan
Aktivis pergerakan memiliki kepekaan tanpa melupakan tanggung jawab utamanya sebagai didikan perguruan tinggi. Terkhusus aktivis muslim mereka berkewajiban melandaskan setiap aktivitasnya pada syariat Islam, bukan seperti pada isi puisi Sukmawati Soekarno, mengaku muslim, tetapi tak paham syariat. Syariat mengajarkan, siapapun dia, apapun perannya, tetaplah sosok manusia yang tidak dapat memisahkan ruhiyah dalam pergerakannya.
Beberapa bulan lalu, Presiden Joko Widodo saat menghadiri Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI, Depok, Jumat (2/2/2018) mendapatkan kejutan menarik dengan ditiupnya peluit oleh Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI yang melakukan aksi memberi “kartu kuning” pada presiden.
Tindakan ini sebagai bentuk peringatan pada pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan di dalam negeri. Dalam aksinya Zaadit mengkritisi beberapa hal. Pertama terkait kasus gizi buruk di asmat, seperti kita ketahui sampai hari itu sudah ada 72 orang korban meninggal di kasus luar biasa tersebut.Zadit juga mengkritisi soal wacana pengangkatan penjabat gubernur dari kalangan Polri aktif. Selain itu, BEM UI juga menolak draf Permendikbud tentang organisasi mahasiswa yang dinilai akan mengekang dan membatasi pergerakan mahasiswa.
Bukan sebuah rahasia, para aktivis timbul dan tenggelam juga di sebabkan galau yang tersibukkan. Dari sekian banyak aktivis hanya secuil yang mampu se gagah Zaadit tampil ke depan menyuarakan hak dan tugas pentingnya sebagai Social of Control.
Beragam respon bermunculan, tidak sedikit menuai kritikan, tetapi juga begitu banyak dukungan. Kemunculannya sebagai pahlawan bagi seikan ribu aktivis, aksinya viral, aksinya tersampaikan. Menanggapi lebih lanjut aksi Zaadit, setelahnya juga hadir tayangan Mata Najwa dengan mengundang beberapa ketua BEM dari kampus ternama.
Semuanya menyampaikan orasi yang ditonton jutaan mata. Mulai dari Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Gafar Revindo, Ketua BEM IPB Qudsyi Ainul Fawaid, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB Ardhi Rasy Wardhana, dan Presiden Mahasiswa UGM Obed Kresna Widya Pratistha. Menariknya, Ketua BEM IPB Qudsyi Ainul Fawaid menyampaikan fakta yang dialami aktivis hari ini. Sistem kurikulum Universitas memiliki Sistem Kredit Semester (SKS) yang sangat mendorong mereka untuk disibukkan pada aktivitas akademik, hingga ruang geraknya sebagai aktivis semakin dipersempit.
Fakta memperlihatkan kerasnya perjuangan aktivis muslim ibarat menyeberang lautan, dua pulau terlampaui tidak lagi diragukan. Mereka adalah kumpulan para mahasiswa yang tidak hanya di ruang-ruang kelas, laboratorium, kantin, bukan pula mereka yang kuliahnya pulang kosan atau nongkrong di tempat hunting seru, tetapi mereka yang disibukkan dengan aktivitas perkuliahan juga kelembagaan.
Kini bukan fasenya merindui Soekarno yang mampu menyihir jutaan telinga dengan retorikanya atau pun menarik pasang mata lewat kharismanya. Peradaban semakin mengeras, dia butuh sosok yang terbukti lebih gagah berani.
Tidak berlebihan jika negeri ini membutuhkan sosok Khalid Bin Walid, sosok panglima perang termasyhur dalam peradaban Islam. Tidak sekedar lihai membuat taktik melawan musuh dan menebas dengan pedang, tetapi membentengi dirinya dengan pemahaman syari’at Islam Sebagai dasar melewati tantangan menuju kemenangan.
Sosok Zaadit beserta kawan-kawannya diharapkan melayakkan dirinya sebagai penerus Khalid Bin Walid. Tidak gentar pada kritikan, selalu terdepan menyampaikan kebenaran, sebab masyarakat awam hanya terdiam, mereka hanya mampu merindu, dan aktivis pergerakanlah wakil mereka.
Penulis: Nurindah Fajarwati Yusran (Aktivis Back to Muslim Identity (BMI) Community Kota Makassar, Alumni Teknik Elektro PNUP 2013)