![]() |
Erin Gruwell bersama Marcus |
METANOIAC.id Dalam buku Sekolah Itu Candu, Roem Topatimaseng menyampaikan
setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap buku adalah
ilmu. Kita bisa belajar dimana saja, belajar pada siapa saja, dan mendapat ilmu
di buku apa saja. Kira-kira seperti itulah yang coba digambarkan oleh Erin
Gruwell dalam film Freedom Writer. Kisah
bagaimana ia mendedikasikan hidupnya demi sebuah sistem pendidikan yang
menyenangkan.
----------
Adalah Erin Gruwell, seseorang pengajar muda yang mencoba
untuk mendapat pengalaman mengajar dengan menangani kelas freshman bahasa inggris untuk pertama kali. Meski tampak begitu
bersemangat, keinginannya untuk hal tersebut diragukan oleh banyak pihak di
sekolah dikarenkan jam terbangnya dalam memfasilitasi sebuah kelas masih sangat
minim.
Keraguan terhadap Erin dalam memfasilitasi kelas muncul dari
berbagai pihak. Pihak sekolah, Pihak Keluarga, bahkan hal tersebut juga
dipandang oleh siswanya di hari pertama ia mengajar. Hal tersebut tergambar
pada hari pertama Erin di kelas yang dipandang tidak menarik oleh siswanya.
Siswa-siswa
Erin sendiri berasal dari suku dan ras yang berbeda, masing-masing memiliki
latar belakang berbeda pula. Tiap murid duduk di kelas berdasarkan ras.
Hari-hari pertama Erin dalam kelas juga dipenuhi oleh situasi
ketegangan, masing-masing siswa sering terbawa suasana perpecahan. Perang antar
ras pun masih sering terjadi dalam sekolah.
Para murid ingin
belajar bagaimana memperlakukan hidupnya
Pada suatu pertemuan, Erin mengecewakan perilaku muridnya
yang saat itu mengejek Jamal atas rasnya. Erin kemudian menceritakan tentang
tragedi Holocaust. Ia menjelaskan dalam peristiwa tersebut, bagaimana semua orang
berharap agar orang-orang Yahudi dan ras kulit hitam semestinya mati atas
perlakuan mereka.
Hal tersebut sontak dibantah oleh Marcus, salah seorang murid
Erin. Mereka kemudian kecewa atas representatif peristiwa Holocaust yang
dijelaskan Erin seolah-olah juga menyalahkan kehidupan mereka yang saat ini
dalam pertikaian.
“Kau tak tahu penderitaan dan apa yang kami hadapi. Kami
belajar grammar sialan ini di sini
dan kemudian harus kembali ke sana--pertikaian ras yang lebih besar. Apakah
yang kau ajarkan ini akan membuat perubahan dalam hidupku?,” ucap Eva.
Sekolah mengabaikan kebutuhan
murid
Erin ingin tau lebih jauh tentang muridnya. Ia kemudian
mencoba membantu para murid untuk mengenali situasi yang sedang mereka hadapi.
Erin ingin mengajak muridnya membaca buku The
Diary of Anne Frank yang menjelaskan bagaimana penulis menghadapi persoalan
seperti yang dihadapi oleh muridnya.
Ketika Erin mencoba meminjam beberapa buku Anne Frank di
perpustakaan. Pihak sekolah tidak mengapresiasi keinginannya. Pihak sekolah
beranggapan anak yang hanya membuat kekacauan dan memiliki nilai membaca yang
buruk hanya akan merusak buku tersebut, mencoret-coretinya. Mereka merasa hal
ini tidak akan bermanfaat, akan lebih baik membuat buku tersebut terjaga di
rak-rak perpustakaan.
Hal ini menggambarkan bagaimana sebuah sekolah mulai
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan murid. Sekolah tidak peduli mengapresiasi cara
Erin memfasilitasi kelasnya, terutama kepada murid yang memiliki masalah dalam
proses belajar.
Erin mulai mengenal
siapa muridnya
Erin mulai penasaran apa yang sedang dihadapi oleh tiap-tiap
siswanya. Ia mulai melakukan pendekatan dengan cara-cara yang menarik. Erin
membuat The Line Games, bermain
dengan pertanyaan. Erin menanyakan beberapa hal mengenai kondisi muridnya yang
perlu ia ketahui dan murid hanya perlu menuju garis yang telah Erin buat
menggunakan plaster jika kondisi tersebut benar.
Erin saat itu tau, murid-muridnya adalah anggota genk. Mereka
punya teman yang telah masuk penjara, mereka juga tau dimana mendapatkan
narkoba. Erin akhirnya tau, murid-muridnya telah kehilangan teman dan
orang-orang tersayang karena kekerasan pertikaian genk.
Belajar itu
menyenangkan
Erin menemukan kegagalan pada
sistem Program Voluntary
Integration yang dibuat oleh Dr. Cohn sebagai Dewan Pendidikan. Ia mulai
mempertanyakan banyak hal mengenai tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Erin memilih jalannya sendiri. Ia mengupayakan untuk membeli
buku yang dekat dengan kehidupan murid-muridnya menggunakan uang
pribadinya. Erin juga mengupayakan sebuah study
tour yang mengajak muridnya belajar ke sebuah musium toleransi. Erin ingin
muridnya tau, ada orang-orang yang mengalami hal yang lebih rumit dari
persoalan yang dialami oleh murid-muridnya.
Tidak hanya belajar tentang
kosakata, grammar, menulis, dan sajak, Erin juga mengajak muridnya belajar
memaknai hidup para murid. Ia mengajak muridnya melawan segala kekhawatiran
mereka dan menanggalkan setiap suara yang mengatakan mereka tidak bisa dalam
sebuah permainan toast for change.
Menjadi diri sendiri.
Murid-murid Erin berbagi cerita,
saling menginspirasi satu sama lain dan menjadi lebih baik. Ketegangan yang
membawahi mereka akhirnya diredam dengan keakraban satu sama lain.
Erin dan pengorbanan
Dengan segala yang Erin jalani,
ia tetap mendapat pertentangan demi pertentangan. Tidak hanya dari pihak
sekolah, ia juga mendapat pertentangan dari suaminya sendiri. Sang suami akhirnya
meninggalkan Erin yang mengorbankan lebih banyak waktu ke sekolah dibanding
dirinya.
Meski dengan segala keterpurukan
Erin di akhir film, semua orang akhirnya iri dengan apa yang telah
dilakukannya. Dengan berbagai alasan Erin terus mendukung segala kebutuhan
muridnya dalam belajar.
Erin membuat sebuah project
diakhir film yang ditujukan untuk muridnya. Mereka mengumpulkan catatan harian
yang telah dibuat masing-masing. Mereka membuat sebuah buku, sebuah kisah yang
menggambarkan diri masing-masing. The
Freedom Writers Diary
Sebagian besar dari murid Erin
adalah orang yang pertama lulus dikeluarganya dari bangku SMA dan melanjutkan
kuliah. Erin Gruwell dan freedom writers
mendirikan Yayasan The Freedom Writer
untuk mengulang kesuksesan kelasnya diseluruh negeri. (YOO/246)
*sumber gambar : www.goodnet.org/articles/7-teachers-from-movies-who-weve-come-to-know-love
0 Komentar