Oleh A.Achmad Fauzi Rafsanjani
Belakangan ini kita telah melewati dua momen penting yaitu peringatan hari buruh (May Day) dan hari pendidikan nasional (HARDIKNAS). Jika pada peringatan may day, buruh menuntut penghapusan outsourching, menolak
upah murah dan menuntut jaminan sosial, maka pada peringatan hardiknas,
mahasiswa menuntut pendidikan gratis dan demokratisasi kampus. Namun,
saya tidak ingin membicarakan hal tersebut lebih jauh dikarenakan ada
sebuah masalah dalam lingkup mikro (kampus) yang membutuhkan
penyelesaian dan perhatian bersama oleh sivitas akademika terutama oleh
kalangan mahasiswa. Jika masalah tersebut tidak kunjung terselesaikan,
maka hanya akan menjadi kerikil-kerikil yang menghambat pengawalan di
masyarakat.
Setiap
individu maupun komunitas membutuhkan eksistensi dalam ruang-ruang
publik. Pengakuan eksistensi itu dapat tercapai dengan menonjolkan
identitas. Identitas adalah sesuatu yang melekat pada seseorang ataupun
komunitas sehingga membedakannya dengan yang lain. Jika dalam logika
Aristotelian, identitas ini dirumuskan dengan “A=A” dan prinsip non
kontradiksi “A≠A’/ A≠B”. Tanpa adanya identitas maka individu ataupun
komunitas akan sulit dikenali.
Kebutuhan
akan pengakuan eksistensi telah mendorong munculnya sikap loyal
terhadap identitas yang melekat. Sikap loyalitas ini akan memberikan
sebuah kebanggaan tersendiri yang akan memunculkan sikap nasionalisme
entah itu dalam makna yang luas ataupun dalam makna yang sempit.
Nasionalisme yang berdasar pada identitas ini pula yang akan melahirkan
konflik-konflik identitas. Hal ini dikarenakan identitas merupakan
simbol dan dimana ada simbol yang berseberangan, maka disitu ada potensi
gesekan. Hal inilah yang kemudian menjadi potensi munculnya apa yang
kita sebut sebagai politik identitas.
Konflik
yang terjadi di kancah politik domestik maupun global setelah perang
dingin usai, telah mengalami transformasi dari konflik basis ideologi
menjadi konflik basis identitas. Kurang lebih seperti itu yang dikatakan
oleh Samuel P.Huntington dalam bukunya The Clash of Civilitations and The Remaking of World Order.
Agus
Heller mendefinisikan politik identitas sebagai konsep dan gerakan
politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan sebagai suatu kategori
politik yang utama. Sementara Kristianus mendefinisikan politik
identitas sebagai perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas
agama maupun etnik. Lantas apa yang keliru dengan politik identitas ini?
Sejarah
telah mencatat bagaimana politik identitas yang terjadi telah memicu
konflik baik secara vertikal maupun horizontal. Anggapan Hitler bahwa
bangsa Arya Jerman adalah bangsa yang terkuat di dunia telah
mendorongnya untuk melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi.
Pembasmian Rohingya oleh mayoritas Hindu di Myanmar didasari oleh
anggapan bahwa Rohingya bukanlah bagian dari bangsa Mynmar. Di zaman
kenabian, terjadi perang antar suku atau bani-bani. Di India terjadi
pula perang saudara antara Hindu dan Muslim setelah kemerdekaan
sehingga menyebabkan korban jiwa, rusaknya infrastruktur serta
terjadinya pemisahan antara India dan Pakistan. Konflik Bugis-Makassar
dan Etnis China di tahun 1990-an juga banyak menyebabkan kerusakan
infrastrukur dan korban jiwa serta sempat melumpuhkan perekonomian
Makassar. Dan tentunya yang tidak kalah seksinya adalah kisruh pilkada
DKI yang begitu kental dengan politik identitas agama sebagai isu
sentral yang kemudian berkembang menjadi isu makar yang mengancam
kedaulatan NKRI. Jadi sangat jelas bahwa konflik identitas hanya
memberikan efek dominasi suatu identitas terhadap identitas yang lain
sehingga manusia mengalami dehumanisasi.
Bagaimana Praktik Politik Identitas Dalam Kampus serta Dampaknya ?
Kita
tentunya masih mengingat bagaimana perjuangan bangsa Indonesia dalam
merebut kemerdekaan di zaman penjajahan. Perjuangan-perjuangan yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong
Ambon, Jong Sumatera dan kelompok lainnya tidak mampu menghasilkan hasil
yang maksimal. Hal ini dikarenakan perjuangan yang dilakukan masih
bersifat sektoral dan masih membawa ego kelompok sehingga perjuangan
dapat dengan mudah dimentahkan dan dikanalisasi. Hingga kemudian
fenomena ini yang menjadi latar belakang terciptanya usaha untuk
menyatukan kantong-kantong keresahan dan kantong kekuatan yang ada, yang
kemudian kita kenal dengan peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa inilah
yang kemudian menjadi momentum integrasi ideologi sehingga
terorganisirnya kekuatan yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Jika
kita mencermati fenomena kampus hari ini, ternyata kita mesti berpikir
berpuluh-puluh tahun ke belakang. Pasalnya pergerakan yang dilakukan
oleh mahasiswa kembali terkotak-kotakkan dikarenakan perbedaan culture yang
kemudian diklaim sebagai perbedaan identitas. Adanya keinginan untuk
meninggikan citra kelompok sendiri dibandingkan kelompok lain, menjadi
munculnya sikap loyalitas yang berlebih sehingga menutup sudut pandang
untuk melihat problematika secara luas. Hal ini diperparah dengan adanya
sekularisasi medan antara kelompok internal kampus dan eksternal
kampus yang kemudian berhasil memangkas terciptanya kantong kekuatan
yang besar dalam medan perjuangan kampus.
Vakumnya
Dewan Mahasiswa (DEMA) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa
Politeknik Negeri Ujung Pandang (BEM-KMPNUP) adalah akibat dari
pertarungan identitas lembaga yang terjadi selama ini. Hal ini kemudian
menyebabkan tidak adanya sentral gerakan di dalam kampus sehingga
menghambat pengawalan kebijakan birokrasi kampus. Konflik internal yang
terjadi membuat kita menutup mata akan fenomena ketimpangan yang
terjadi di sekitar kita seperti masalah UKT, liberalisasi pendidikan,
pencabutan UU PT No.12 Tahun 2012, konflik agraria, demokratisasi kampus
dan termasuk masalah gerakan radikalisme yang mulai membangun sarang di
dalam kampus. Hal ini menjadi bukti bahwa terporsirnya tenaga untuk
melakukan pertarungan identitas hanya akan menambah sederetan
permasalahan yang ada.
Di
satu sisi komunitas-komunitas kampus sedang bertarung untuk tampil
sebagai komunitas yang super power, pada sisi lain berbagai
kebijakan-kebijakan untuk meredam gerakan mahasiswa juga sedang
dibangun. Kita mengambil contoh yang baru-baru saja terjadi, adanya
kebijakan tidak wajibnya mahasiswa baru mengikuti pengkaderan,
pelarangan sosialisasi di kelas-kelas hingga pengaturan materi dan
pemateri pengkaderan. Pada kasus yang lebih ekstrim adalah adanya
kewajiban asistensi media
kampus sebelum menerbitkan berita adalah bentuk pembungkaman dan
pembatasan kebebasan berekspresi yang nyata. Padahal yang semestinya
menjadi ujung tombak dalam pewacanaan problematika kampus adalah media
kampus. Namun fenomena ini dianggap sebagai masalah komunitas tertentu
saja dan tidak dianggap sebagai masalah bersama. Sepertinya kita lupa
dengan teori Talcot Parson bahwa setiap fungsi dalam struktur saling
berkaitan.
Setelah kita melihat maraknya politik identitas yang terjadi di dalam kampus lantas “kenapami bede’?”.
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo adalah
objektivikasi. Objektivikasi yang dimaksud adalah rasional-nilai yang
diwujudkan dalam perbuatan yang rasional sehingga orang luar pun dapat
menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Jadi sudah semestinya
tiap individu dan komunitas kampus membuka pandangan dan melihat
fenomena secara haulistik, seperti yang dikatakan oleh Schlemeicher
bahwa untuk memahami yang sebagian, mesti memahami keseluruhan. Masalah
yang terjadi pada komunitas tertentu, merupakan masalah bersama karena
masalah tersebut berpotensi terjadi pada diri kita maupun komunitas
kita. Selama tidak ada penyatuan ego dalam kacamata KMPNUP yang berdasar
pada ideologi mahasiswa, maka revolusi, pengawalan hanya menjadi
sesuatu yang utopis.
0 Komentar