Sebelum lebih jauh, ada baiknya untuk kali ini kita mesti
pahami bahwa klarifikasi bukanlah bahasa apologi. Bahwa yang perlu diingatkan
adalah telisik mendalam harusnya dilakukan meskipun luarannya hanya berbentuk
opini penggiringan, akan lebih baik jika kutipan-kutipan dari buku antah
berantah diperjelas dengan melihat kondisi atau menemukan jawaban dari tanya
untuk pelakunya.
Apakah tulisan ini mengarah ke apologia atau klarifikasi?
Tidak ada yang merasa salah, ini sebagai bentuk penjelasan atas keresahan yang
salah. Duhai pemangku resah itu, mencoba mengungkapan dengan satu-dua baris
kalimat dalam paragraf penuduhan harusnya berdasar fakta. Dengan kata lain,
fragmen turunan berupa kalimat atau doktrinan senior baiknya dilakukan
penyaringan.
Maka sebagaimana mestinya, tuduhan pun sangat diapresiasi. Baiknya
juga tidak usah menanggap hal tersebut sebagai hal yang ekstrem, toh kali ini mungkin
tidak ada ekstremis yang berjuang sampai mau membunuh.
Lanjut ke kasusnya, nampaknya ini akan penuh tanya. Jika ada
seseorang yang membuat surat permohonan
pendanaan untuk “sesuatu”, apakah “sesuatu” itu harus jelas? Jawabannya sudah
pasti iya. Nah, poin selanjutnya adalah;
apakah normal jika dalam suatu pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan
dana harus direstui dengan tanda tangan? Sudah jelas normal.
Jika semuanya dipikir normal saja, mungkin yang dinilai
salah adalah jika ada bentuk koreksi dari “sesuatu” yang diajukan tersebut.
Tapi pada nyatanya, bukankah pertimbangan memang kadang dibutuhkan? Tapi pada
nyatanya juga, apakah ada proses koreksi? Jika iya, dimana letaknya dan kapan?
Dan pertimbangan muaranya adalah pilihan, pertimbangan itu kadang
lahir dari pembinaan dimana salah satu subjeknya ada pembina. Apakah kita
memilih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan pertimbangan eksternal, itu
adalah pilihan. Pada kenyataanya pun, pertimbangan untuk merubah “sesuatu”
tersebut hampir tidak pernah muncul dan hanya bersifat angin lalu. Karena apa?
Karena kita punya dasar atas “sesuatu” itu.
Toh jika selama ini memang ada proses koreksi? Mengapa ada
pembungkaman pasca “sesuatu” itu dilemparkan? Jika pada prosesnya ada bentuk
koreksi, itulah mungkin yang disebut asistensi. Tapi jika prosenya dilakukan
sebagai bentuk pemindahan dalam rangka pendanaan, itulah mungkin yang kita
sebut reposisi.
Atau mungkin ada bahasa/definisi/kata lain? Jika iya, beri
pertimbangan! Memang kurang meyakinkan mengunkan kata “mungkin”, karena pada
dasarnya kita memang membahas kemungkinan. Sekali lagi, ini memang kemungkinan. Tapi
setidaknya ini jujur, bukan kemungkinan yang dipaksa untuk jadi kepastian.Tidak
usah baper, pada dasarnya pendanaan
memang memiliki sensifitas yang tinggi, bukan?
Padahal untuk mengetahui bedanya sangat gampang sekali, mari
baca KBBI. Karena di dalamnya ada kata reposisi dan ada kata asistensi. Nah,
bagi kalian yang terlajur menyangka reposisi adalah asistensi karena
ikut-ikutan tergiring, baiknya dengarkan lagunya Nidji yang dinyanyikan oleh
Giring, berikut liriknya: Jangan kau
menilai kita salah//Baju dan warnaku jelas bebas//Kita
yang peduli, kita yang peduli//Masa depan milik kita. Kamu dan
kita jelas bebas menelusuri fakta, bukan sekedar dengar cuitan pendahulu!
Tapi kali ini nampaknya kita harus khawatir karena cuapan
ini malah mengutip lagu dan memiliki
suruhan banter untuk membuka KBBI. Khawatir
apakah bisa diterima seperti tulisan yang mengutip berbagai pendapat dari
buku-buku ideologi-didaktik dialektika hegel.
Jadi tidak usah pikirkan apakah ini apologia atau
klarifikasi. Yang perlu ditahu bahwa tulisan ini tak bermaksud menghakimi,
makanya subjek-predikat-objeknya sedikit dikaburkan untuk dijadikan bahan
renungan. Karena pada dasarnya, semua masih dalam proses belajar. Jadi ini
untuk semua, santai saja.
0 Komentar