METANOIAC.id – Sampai padatahun 2017, Politeknik Negeri Ujung Pandang masih membina kelas kerja sama dengan dua perusahaan yakni PT Trakindo Utama dan PT PLN (Persero). Secara spesifik, pada awalnya Trakindo menjalin hubungan kerja sama dengan konsentrasi D3 Teknik Alat Berat yang masih menjadi bagian dari program studi D3 Teknik Otomotif, jurusan Teknik Mesin. Adapun PLN masih menjalin hubungan dengan Program Studi D3 Teknik Listrik, jurusan Teknik Elektro.
Sebelumnya tercatat kelas kerja sama lain juga pernah ada di PNUP, seperti di program studi D3 Konversi Energi – PLN dan Prodi kerja sama D1 Otomotif – Toyota Kalla. Kelas kerja sama sendiri pada dasarnya dijalankan atas standar aturan main yang disepakati oleh dua pihak yang menjalin kerja sama, dalam hal ini PNUP dengan instansi atau korporasi tertentu.
D3 Teknik Listrik merupakan program studi yang saat ini menjalankan kelas regular dan kelas kerja sama. Untuk kelas kerja sama, bentuk kerjasamanya jelas, program ikatan dinas yang seleksi masuknya menggunakan sistem gugur dengan sejumlah evaluasi dan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak PLN. Untuk seleksinya sendiri jauh berbeda dengan jalur reguler, dimana seleksi KKS dilaksanakan terpisah dengan sistem yang berbeda dengan jalur reguler/biasa. D3 Teknik Listrik KKS PLN dari awal pendaftaran sampai pada tahap penyaringan memiliki jalur tersendiri.
Sedangkan untuk D3 Teknik Alat Berat pada awal pembukaannya langsung berkerjasama dengan Trakindo (cooperated). Adapun jadwal pendaftaran dan tes memiliki jadwal yang sama dengan jalur reguler, namun pada tahap lanjutan KKS Alat Berat memiliki tahap seleksi sendiri yang langsung melibatkan pihak Trakindo sama seperti PLN pada KKS D3 Teknik Listrik, setidaknya itu benar-benar mulai berlaku pada angkatan kedua (angkatan 2015).
“Di awal perekrutannya pihak perusahaan juga ikut andil dalam penerimaan calon mahasiswa baru terkhusus untuk program studi alat berat,” ungkap salah seorang mahasiswa Alat Berat, Angkatan 2015, Rahman (08/06). Menurutnya, bayang-bayang soal fasilitas yang akan memadai disertai poin lebih bahwa ia akan kuliah dengan status mahasiswa kelas kerja sama dengan salah satu perusahaan alat berat ternama memunculkan harapan lebih yang kala itu membuatnya begitu senang.
“Dengan harapan yang begitu banyak karena kerja sama ini akan lebih memudahkan untuk menjalani proses perkuliahan. Dengan saling memfasilitasi antara pihak kampus dengan perusahaan tersebut,” imbuh Rahman melanjutkan ceritanya saat awal-awal ia dinyatakan lolos di PNUP.
Selanjutnya Rahman menguraikan penjelasannya pada tiap semester yang telah ia lewati. Pada semester 1, ia beserta teman kelasnya sama sekali tidak mendapatkan kelas praktek yang umum dilaksanakan di program studi lain. Dengan berbagai alasan, workshop/bengkel yang telah disediakan dan dikhususkan untuk mereka tidak ditempati. “Fasilitas yang ada di workshoptersebut belum lengkap sama sepertinya bangunan itu masih dalam tahap proses tetapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut, ” jelasnya.
Ketika memasuki semester 2, sepengetahuan Rahman, semua mata kuliah merupakan mata kuliah praktek namun kebanyakan ternyata sebatas teori dengan praktek yang hanya seadanya. “Di semester 2 ini kami sangat berharap akan di OJT-kan supaya bisa belajar lebih lagi tetapi hal itu tidak terlaksana,” tutur Rahman. Pada semester ini pula, Rahman mulai mendengar desas-desus tentang diusulkannya konsentrasi Alat Berat untuk segera menjadi prodi Alat Berat.
Harapan untuk segera praktek lantas sedikit tertawarkan ketika pihak kampus mendatangkan beberapa unit alat berat pada saat semester 3. Saat itu menurut Rahman, ia tidak menyangka dan tidak terlalu tahu mengenai pengadaan tersebut. Memasuki semester 4, rupanya keluhan yang dirasanya masih dalam benang merah yang sama. “Sampai semester sekarang kami hanya dapat belajar di kelas dengan penuh teori, meskipun terdapat praktik tetapi hanya apa adanya di karenakan bahan praktik khusus untuk alat berat sangat minim.”
Menurut Rahman, seperti yang diakui adik kelasnya yang mempertanyakan kejelasan apakah mereka masuk dalam lingkup kerja sama atau bukan, sempat menyeruak akibat dari kondisi-kondisi yang telah ia jelaskan sebelumnya. Di akhir-akhir pernyataanya, Rahman berharap agar hubungan kerja sama ke depan bisa lebih diperbaiki.
A.M Anzarih selaku KPS Teknik Otomotif kemudian mengonfirmasi pertanyaan-pertanyaan mahasiswa. Sebagai KPS Teknik Otomotif kedua yang mewarisi kendali konsentrasi Teknik Alat Berat dari KPS sebelumnya, Anzarih mengawali dengan mengungkapakan bahwa latar belakang utama adanya Kelas Kerja Sama (KKS) adalah adanya tawaran dari pihak Trakindo.
“Yang saya tahu itu tawaran dari Trakindo, kemudian Poltek bersedia,” ungkapnya saat ditemui disela-sela kesibukannya (31/05). Bersama dengan beberapa politeknik lain di Indonesia, Teknik Otomotif Konsentrasi Alal Berat – PNUP menjadi politeknik yang paling belakangan dan terhitung baru melakukan kerja sama dengan pihak Trakindo.
Adanya kesimpangsiuran mengenai kejelasan status Kelas Kerja Sama (KKS) yang dipertanyakan beberapa mahasiswa Alat Berat dikarenakan status mahasiswa ada yang mendapat beasiswa dan ada yang tidak mendapatkan beasiswa. Padahal menurut Anzarih semua angkatan masuk dalam lingkup kerjasama (COOP), “cuma yang ada beasiswanya, baru angkatan pertama (angkatan 2014 –red),” imbuhnya.
Lebih lanjut, Anzarih menegaskan bahwa angkatan pertama mendapatkan beasiswa dikarenakan angkatan pertama merupakan alumni dari beberapa SMK yang sebelumnya memang telah menjalin kerjasama dengan pihak Trakindo yang kemudian dikuliahkan di politeknik. Sementara beberapa mahasiswa lain, ada yang memang sebelumnya telah menjadi teknisi di Trakindo. Meski begitu, tata laksana pembelajaran antara yang mendapatkan beasiswa dan yang non beasiswa tidaklah memiliki perbedaan.
Untuk tahun 2017 sendiri, menurut Anzarih, dari enam politeknik yang menjalin kerja sama dengan Trakindo, Politeknik Negeri Samarinda kembali menjadi pihak yang mendapat kesempatan untuk melakukan pembinaan kelas/angkatan dengan fasilitas beasiswa tersebut.
Keluhan Lawas Lain
Sementara itu, Tomi Saputra Sitinjak, yang juga merupakan angkatan pertama mengemukakan bahwa ia lebih cenderung mengeluhkan penerapan kurikulum yang ia istilahkan kurang rapih. Ia mengambil contoh kasus yang ia rasa pada semester akhir, dimana ia mesti harus menyelesaikan enam mata kuliah sambil menyusun tugas akhir.
Sebelumnya, praktik yang minim juga sempat menjadi pertanyaan yang mengganjal selama Tomi menempuh kuliah. Meski sejauh ini, pihak kampus telah mendatangkan dua unit alat berat namun menurutnya praktikum terutama yang berkaitan dengan toolsalat berat hampir tidak pernah dilaksanakan di dalam kampus. Bersama dengan teman kelasnya yang lain, praktik langsung mereka dapatkan saat dikirim ke beberapa cabang Trakindo di Indonesia.
Dibalik keluhannya mengenai fasilitas praktikum, Tomi sendiri memberikan pemakluman lebih atas keterbatasan alat praktikum yang diakibatkan karena terbatasnya pendanaan, ia menilai proses dalam hal ini memang tidak bisa di kesampingkan. “Tidak bisa bagaimana-bagaimana yah. Karena segala sesuatunya butuh dana,” tutur Tomi (31/05).
Tomi sendiri pernah mengeluh langsung pada dosen atas kondisi yang ia rasakan. Lebih lanjut, Tomi berharap agar kompetensi dosen dalam mengajar dan memberikan materi agar ke depan lebih diperhatikan. “Lebih ke materi dosennya,” tutup Tomi.
Adapun Noor Wahyudi juga berpendapat dan memiliki keluhan umum seperti yang dirasakan Tomi, ia menilai bahwa kerja sama antara Trakindo dan PNUP terasa cukup jelas, cuma menurutnya belum maksimal. Sebagai angkatan pertama yang ia juga sebut sebagai angkatan percobaan, lini kekurangan bisa mereka rasakan betul dan tahu hal seperti apa yang harusnya diperbaiki.
Dari pernyataanya, ia mengungkapkan angkatan kedua dan seterusnya yang non-beasiswa harusnya tidak berkecil hati karena prioritas untuk menjadi karyawan Trakindo tetap ada. Iapun juga berharap agar hal yang menghambat porsi praktikum dapat segera teratasi agar angkatan selanjutnya bisa lebih maksimal dalam melakasanakan proses pembelajaran. “Progres lebih dipercepat saja,” tutur Wahyu (31/05)
Anzarih pun tak menampik keluhan dari mahasiswa yang menganggap peralatan masih kurang memadai meski statusnya telah menjalin kerja sama. Menurut Anzarih, salah satu penyebabnya adalah dana yang terbatas beberapa tahun terakhir. Namun mengharap pemakluman, menurutnya kondisi Teknik Alat Berat yang terhitung masih baru dirasa butuh waktu untuk terus melengkapi kekurangan, dimana pembiayaan sangat tergantung dari pembiayaan negara.
Sebagai bentuk koordinasi dalam rangka meningkatkan kualitas, menurut Anzarih selalu ada komunikasi intensif antara pihak cabang Trakindo dengan PNUP, diamana hal itu juga berlaku pada semua politeknik yang menjalin kerja sama dengan perusahaan tersebut. “Tiap bulan selalu ada pertemuan dengan Trakindo,” jelasnya.
Kekhawatiran mahasiswa yang belum mendapatkan skill dalam bidang alat berat telah perlahan diatasi dengan mendatangkan alat berat yang akan ditempati mahasiswa untuk melakukan praktik operator. Terlebih menurut Anshari, untuk melatih sekitar 12 skill wajib sebenarnya telah dipersiapkan dan akan dilangsungkan sesegera mungkin, terutama untuk angkatan kedua.
Di sisi lain, angkatan yang baru akan memasuki semester lima nantinya akan diberikan kesempatan untuk magang di Trakindo sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. “Magang di trakindo selama satu semester,” jelas Anzarih.
Adapun untuk mengatasi perlunya peningkatan kompetensi pengajar, ide untuk melakukan pelatihan pada staf pengajar lantas muncul dari pihak Trakindo, yang mana pelatihan tersebut difasilitasi penuh oleh Trakindo. “Pelatihan atau peningkatan skillstaf pengajar, dibiayai semua kecuali tiketnya,” tutur Anzarih. Meski untuk sementara, baru ada empat staf dosen dari target minimal enam staf dosen yang diproyeksikan untuk mengikuti pelatihan.
Baiknya Memang jadi Prodi
Mengenai kurikulum dan mata kuliah, menurut Anzarih pada enam politeknik yang memiliki program studi Teknik Alat Berat dan bekerjasama dengan Trakindo pada dasarnya memiliki kurikulum yang cukup identik satu sama lain. “Kurikulumnya hampir sama seluruh Indonesia,” jelasnya.
Adapun menurutnya sudah sangat pasti kurikulum Teknik Otomotif dengan Teknik Alat Berat berbeda. Terlebih lagi, seperti yang diakui Anzarih bahwa sebelumya Alat Berat memang diproyeksikan sebagai cikal bakal Program Studi Teknik Alat Berat, dimana proposal pengajuan pembentukan program studi telah terkirim.
“Kalo sudah mandiri program studi Alat Berat, akan lebih bagus lagi,” pesan Anzarih sembari meminta mahasiswa untuk sedikit bersabar atas kekurangan yang ada. Dari pernyataanya, ia merasa upaya untuk memberikan proses pembelajaran yang baik pada mahasiswa pada intinya selalu coba dilakukan. “Yang jelas kami di sini selalu melayani mahasiswa dengan baik sesuai dengan kemampuan kami,” imbuhnya.
Lebih jauh selaku KPS Teknik Otomotif, ia berharap kerja sama yang dijalin selama ini dengan pihak Trakindo bisa tetap dipertahanakan. “Kalo ada yang kurang kita perbaiki lah, kalo ada yang baik kita pertahankan, harapan saya seperti itu,” tutup Anzarih.
Sementara itu menurut Kajur Mesin, Dr. Jamal, turut memberikan pandangan, ia mengemukakan pendapat yang hampir sama dengan KPS Otomotif, ia menyatakan bahwa kurikulum tersusun atas dasar kesepakatan dengan Trakindo berdasarkan target yang ingin dicapai pada mahasiswa sesuai dengan tingkat kebutuhan yang ada di lapangan/industri. “Namanya kerja sama, kita tidak harus memaksakan,” tutur Jamal (31/05).
Meski menyatakan bahwa tidak ada keluhan mahasiswa Teknik Alat Berat yang sampai padanya sebagai Kajur, ia juga menilai bahwa kelengapan laboratorium memang masih perlu diperhatikan. Dengan melihat bahwa sebagai bagian dari kerja sama, untuk sementara Trakindo bersedia laboratorium perusahaan ditempati praktik bagi mahasiswa Alat Berat, menurutnya hal itu sudah cukup membantu.
Upaya untuk melengkapi fasilitasi praktikum dan pembelajaran pada dasarnya selalu diusahakan, terlebih jika melihat bahwa Teknik Alat Berat pada awalnya memang diproyeksikan untuk menjadi Prodi, meskipun tidak bisa ditampik pendanaan yang tidak sedikit membutuhakan waktu dalam pengadaannya. “Tetap saja, ke depan kita harus punya tersendiri, tapi butuh proses,” jelas Jamal.
Lebih jauh, Jamal menjelasakan bahwa mahasiswa Alat Berat yang tidak termasuk dalam kelas beasiswa Trakindo agar ke depan bisa lebih diperhatikan, dikarenakan porsi pengalaman yang didapatkan sedikit berbeda jika menilik bahwa kelas beasiswa adalah lulusan SMK yang memang dari awal telah bekerja sama dengan Trakindo.
Sehingga selain kerja sama yang telah ada sekarang lebih ditingkatkan, ia pribadi mengharapakan pangsa kerja sama dengan perusahaan lain juga bisa dikembangkan ke depan, apalagi jika melihat kerja sama dengan suatu instansi perusahan memiliki tempo dalam pelaksanannya. “Ketika sudah namanya Alat Berat, kita tidak boleh hanya mengenal satu model produksi alat berat saja,” harapnya. (AA/233)