“Pendidikan adalah bentengmu. Jika engkau menjaganya maka ia akan menjagamu. Jika engkau membiarkannya maka ia tidak akan memperdulikanmu.”
Begitulah sejatinya pentingnya pendidikan dalam kehidupan, ia merupakan benteng utama untuk mengatur pola pemikiran yang akan mencerminkan sikap dari seseorang. Pendidikan bukanlah sekedar materi melainkan nutrisi bagi jiwa yang haus akan ilmu.
Namun pada hari ini pendidikan bukan lagi nutrisi juga bukan sebagai benteng bagi sebagian orang, hal ini tampak jelas dari aksi premanisme oleh kaum terdidik. Akhir-akhir ini marak terjadi, seiring pemberitaan media informasi yang acap kali mengulas berbagai aksi kekerasan oleh siswa dari tingkat SMP, SMA hingga tingkat Perguruan Tinggi (PT). Aksi pemalakan, tawuran hingga pembunuhan antar pelajar menjadi bukti nyata bahwa wajah dari sistem pendidikan terkhusus di Indonesia tidak lagi sebagai benteng dari anak bangsa. Ini menjadi pertanyaan besar untuk kita bahwa apa yang terjadi dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia?
Tidak hanya menjadi pertanyaan besar untuk Indonesia namun juga menjadi PR besar untuk sistem pendidikan yang ada di Indonesia itu sendiri. Menurut Ketua Umum Yayasan Rancage, Ajip Rosisdi, “Sistem pendidikan Nasional di Indonesia masih mewarisi sistem kolonial. Perlu dilakukan perombakan total pada sistem Pendidikan Nasional agar bisa membentuk watak anak yang mandiri dan kreatif …..” (26/8/2001, gaulfresh.com).
Pernyataan Ajip Rosidi diatas tentang Pendidikan Indonesia yang masih mewarisi sistem kolonial adalah tepat. Ciri khas dari sistem pendidikan kita yang merupakan sistem warisan penjajah ini bisa dilihat dari ideologinya yang jelas-jelas bernafaskan Sekularisme-Materialisme. Sekularisme sebagai paham yang tidak menginginkan adanya keselarasan antar ajaran agama dan kehidupan bermasyarakat (berupa pendidikan, ekonomi, dan sosial-kemasyarakatan), menjadi acuan sistem pendidikan kita.
Sehingga tidak heran ketika sekularisasi di bidang pendidikan telah mampu menciptakan generasi-generasi yang sering dihujat masyarakat karena kebiadaban dan kerusakan yang dibaktikan untuk negeri ini. Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik telah gagal melahirkan pribadi-pribadi mulia dan sekaligus mampu menguasai ilmu, pengetahuan dan teknologi secara bersamaan, sebaliknya hanya mampu menciptakan generasi-generasi yang mau memanfaatkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan yang selanjutnya digunakan untuk meraup pundi-pundi uang demi kepentingan pribadi.
Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan ini dimulai sejak adanya berbagai kebijakan dari dua departemen yang berbeda yakni Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Salah satu contohnya adalah program pertukaran pengajar yang dilakukan oleh Kemenag Aceh yang menjalin kerja sama dengan pemerintah Inggris. Sebanyak 30 guru Pendidikan Agama Islam dari tingkat TK hingga SMA dari beberapa provinsi mengikuti program Pelatihan Pengayaan Teknik dan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam di University of Oxford, di Inggris pada tanggal 8-12 Desember.
Para pengajar akan mendapatkan cara untuk mendidik pelajaran agama dengan cara menyenangkan, interaktif, dan berlangsung secara dua arah. Namun hal ini tidak dapat kita anggap sebagai salah satu cara yang solutif untuk mengatasi permasalahan pendidikan yang terjadi, karena kita tahu betul bahwa jika pedidikan Islam berkiblat ke Barat yang pada dasarnya merupakan negara yang liberal, maka secara tidak langsung akan menggerogoti sedikit demi sedikit pemahaman dan nilai-nilai Islam.
Dan ini juga merupakan upaya pengaburan bahkan penyesatan terhadap ajaran Islam, selain itu apa yang meraka dapatkan tentu bukan hanya teknik mengajar yang baik, namun juga nilai-nilai yang menjadi pijakan kurikulum di negara-negara barat yang liberal. Bukan hanya itu mereka juga mengunjungi gereja, museum dan sekolah-sekolah agama di Inggris agar bisa menyaksikan betapa ‘baik’ peradaban Barat. Ini jelas meracuni pendidik-pendidik Muslim agar ramah terhadap nilai Barat bahkan mengunggulkan peradaban Barat yang rusak.
Sejatinya tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian islami (syakhshiyah Islamiyah) setiap Muslim, serta membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Permasalahan diatas secara pasti disebabkan karena penerapan sistem Sekularisme khususnya di sektor pendidikan dan umumnya dikehidupan sosial bernegara, maka wajar jika negeri ini menjadi miskin, terbelakang, terjajah dan tak berwibawa akibat terterapnya sistem yang malah semakin menjauhkan masyarakat dari pandangan mengenai kehidupan yang hakiki.
Sudah saatnya kita kubur sistem pendidikan yang sekular dan ganti dengan sistem pendidikan Islam yang pernah terbukti melahirkan insan-insan mulia yang bukan saja ahli agama, tetapi juga mampu mengetahui dan menguasai bidang IPTEK dan juga membawa Islam ke puncak peradaban tertinggi di dunia.
Penulis: Hajjaria Hasanuddin (Mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang, Aktivis UKM-LDK Humaniora PNUP)