METANOIAC.idDalam buku Change Leadership: Non-Finito menyampaikan
bahwa menjadi seorang pemimpin perubahan bukan hal yang mudah. Ada banyak
risiko yang harus dibayar. Berbahaya, bahkan tidak jarang mengancam jiwa dan bersiaplah
menghadapi ketidakpastian. Non finito!
Salah satu aspek yang harus dibenahi adalah birokrasi kampus kita. Hegel dan
Karl Marx mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan pembebasan
dan transformasi sosial.
Dengan demikian,
sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Namun, saya melihat birokrasi
dikampus kita lebih suka dilayani ketimbang melayani, lebih suka membuat repot
ketimbang membantu, lebih suka memperlambat ketimbang mempercepat. Nah, begitu
lingkungan menjadi sangat dinamis, kita semua frustasi menghadapi leadership yang demikian.
Sederhananya,
mesin birokrasi kampus kita terbiasa bekerja dengan kecepatan 40 kilometer per
jam, padahal kita tengah melaju di jalan tol. Alhasil, birokrasi kampus kita
terus menerima klakson dari mobil yang berada di belakangnya, bahkan juga dari
penumpangnya yang sudah tidak sabar ingin segera sampai ke tujuan. Kalau tak
mau minggir, jadilah birokrasi kita sebagai sumber kemacetan. Mungkin, itulah
yang membuat kampus kita kesulitan untuk menduduki peringkat atas Politeknik
se-Indonesia.
Maka dari itu
saya menyarankan kepada direktur untuk melumasi mesin-mesin birokrasi kampus
kita, agar kita melaju dengan kencang dan tidak mendapat klakson lagi dari belakang.
Bahkan mampu untuk mendahului mobil-mobil yang berada di depan kita, sehingga
target direktur untuk mengangkat posisi kampus kita bukan hanya berakhir pada
kata it’s too good to be true.
Berkaitan dengan
target utama direktur, tentunya andil dan campur tangan mahasiswa tidak bisa
dikesampingkan. Karena, prestasi-prestasi dari mahasiswa entah itu
Intrakulikuler dan ekstrakulikuler adalah salah satu penilaian yang dapat
mendongkrak posisi kampus kita. Tentunya hal ini membutuhkan fasilitas yang
memadai sebagai penunjang. Jika kita melihat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Pulau
Jawa yang mahasiswanya memiliki prestasi segudang. Hal tersebut tidak lepas
dari fasilitas yang disediakan pihak kampus yang memadai dan berkulitas.
Jikalau hal itu sulit diwujudkan dalam jangka waktu dekat ini, maka buatlah
para mahasiswa mudah untuk mengaksesnya.
Dunia
kemahasiswaan, khususnya para aktivis kampus yang tentunya tidak lepas dari
tanggung jawab moral sebagai mahasiswa yaitu mengkritik kebijakan birokrasi
kampus dan pemerintah sebagai eksekutif di Negara ini. Namun, pada kenyataannya
banyak birokrat di tingkat kampus dan Negara yang anti ktitik dan menganggap
kritik sebagai hal yang buruk.
Sedangkan
Benjamin Franklin, kala ia menjadi Gubernur Pennsylvania yang juga politisi
besar Amerika Serikat berkata, Critics
are our Friends, they show us our faults. Bahkan Malcom X menegaskan, If you have no critics you’ll likely have no
success. Berdasarkan pendapat para tokoh tersebut, maka kita harus merubah
pandangan kita tentang kritik yang selama ini kita anggap sebagai hal buruk,
maka sekarang anggap saja kritik itu berkah.
Maka dari itu, saya
menyarankan kepada direktur untuk menyelenggarakan rembuk kampus yang di dalamnya
dibuka untuk seluruh sivitas akademika kampus. Kedepannya forum ini bisa dimanfaatkan
untuk menampung aspirasi, keluhan, ide, dan saran segenap masyarakat kampus
yang dapat berguna untuk kemajuan kampus kita.
Berbicara
tentang lembaga kemahasiswaan di kampus kita, tentunya tidak lepas dari polemik-polemik
yang sering datang dari internal maupun eskternal. Mungkin jika harus
menuliskan satu per satu polemik tersebut, saya mungkin membutuhkan waktu yang
lama. Maka dari itu, saya hanya akan mengutarakan beberapa hal yang sifatnya
fundamental. Organisasi kemahasiswaan diselenggarkan dari, oleh dan untuk
mahasiswa serta organisasi kelembagaan di perguruan tinggi memiliki otonomi
(dalam keilmuan dan pengelolaannya) yang merupakan prinsip yang dipegang oleh
para pengurus lembaga kemahasiswaan.
Namun, masih ada
saja oknum-oknum sivitas akademika yang menganggap organisasi kemahasiswaan
sebagai kendaraan yang bisa dikemudikan dan diarahkan sesuka hatinya. Bukankah
keinginan untuk berkuasa mutlak pada seorang individu atau kelompok merupakan
bentuk kepribadian sadisme? Sedangkan hubungan antara pimpinan perguruan tinggi
dengan sivitas akademika tidak didasarkan pada atasan dan bahawan, tetapi
berdasarkan kemitraan.
Sebenarnya hal
prinsip seperti ini sudah harus dipahami bersama, demi terciptanya hubungan
yang harmonis antar mahasiswa dan para pimpinan perguruan tinggi. Cobalah untuk
membangun kepercayaan dengan mahasiswa, karena Stephen MR covey mengatakan,
ketika Anda berhasil membangun kepercayaan dengan seseorang, Anda membangunnya
sekaligus untuk banyak orang.
Beberapa aksi mahasiswa
yang ditujukan untuk para petinggi di penjuru negeri ini, biasanya
dilatarbelakangi oleh kekecewaan mahasiswa terhadap kebijakan dan
kesewanang-wenangan pihak pimpinan kampus yang mengambil kebijakan dan membuat
aturan tanpa memikirkan efek jangka panjangnya. Alih-alih memanggil mahasiswa
untuk menjelaskan kebijakan tersebut, biasanya pihak kampus langsung menghukum
mahasiswa yang melakukan aksi dengan skorsing (diberhentikan sementara), atau
bahkan yang lebih parah yaitu drop out
(dikeluarkan).
Kami selaku
mahasiswa tentunya tidak mengharapkan bentuk hukuman seperti itu, karena hal
tersebut bukanlah tindakan mendidik melainkan tindakan otoriter dan tidak
memikirkan masa depan mahasiswa tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Iwan Fals
dalam lagunya bongkar, “Orang tua kami bertanya, tolong kau jawab dengan
cinta.” Maka dari itu kami mengharapkan hangatnya cinta yang keluar dari lisan
para orang tua kami di kampus.
![]() |
Penulis: Hadi Irawan/Presiden BEM PNUP |
0 komentar:
Posting Komentar